Senin, 23 Mei 2016

Kareumbi (2009)


Aku bersama dengan kaka kelasku kumpul di depan sekolah sore pukul 4, kami ber-empat berencana untuk berkemah di Kareumbi. Tidak lama untuk saling menunggu semuanya sudah berkumpul, semua sudah siap dan kami berangkat dengan berjalan kaki.  Tidak lama setelah kami memulai perjalanan hujan pun turun dengan deras, tapi kami tetap melanjutkan perjalanan.

Kami berjalan melawati kampung, diantara rumah-rumah tembok, dan melewati jalan berkerikil batu akibat jalan yang sudah rusak, kampung pertama telah kami lewati, kami harus melewati jalan setapak di pesawahan warga. Langkah berjalan kami diperpanjang dengan ritme yang tidak pelan untuk mempercepat perjalanan. Hajan masih deras dan hal yang kami takutkan ketika berjalan di area pesawahan yang landai dan datar adalah petir. Setelah cukup lama kami berjalan melewati pesawahan kami kahirnya berjalan memasuki kampung lagi, kami berjalan di pinggiran jalan umum, hujan masih deras dan jalan yang kami tempuh akhirnya bertemu dengan jalan raya, hujan sudah mulai reda tinggal gerimis yang turun dengan konstan yang membuat badan kami tetap basah, kami berjalan di pinggir jalan raya, perjalanan kami tidak kalah cepat dengan air yang mengalir di selokan sisa dari hujan deras yang tadi turun. Dari jalan ini aku bisa melihat gunung yang akan kami datangi untuk berkemah, terlihat pohonya cukup lebat, aku menghela napas. Aku harus mengatur pernapasan dan mengontrol tubuh supaya tidak menggigil, menjaga kondisi tubuh supaya tetap hangat ketika melakukan perjalanan saat sedang hujan. Stelah berjalan cukup lama di pinggiran jalan raya dan melewati beberapa pertigaan akhirnya kami masuk melewati kampung lagi, dan kami berjalan melewati rumah-rumah tembok warga dekat gunung Kareumbi, tak lama setelah itu kami melewati perkebunan dan jalan setapak yang berkelok-kelok, hujan semakin reda dan hari pun semakin gelap, perjalanan kami semakin cepat, untungnya akibat dari hujan deras tadi jalanan tidak terlalu licin, karena lumpur-lumpur yang membuat jalan menjadi licin sudah terbawa oleh aliran air hujan, jalan yang kami tempuh semakin melebar, tinggal beberapa menit lagi kami akan sampai di tempat tujuan kami.

Setalah berjalan kurang-lebih 2 jam, akmi akhirnya sampai pada tempat tujuan kami, Ciceri, Gunung Kareumbi. Wilayah ini merumpakan kawasan dari wilayah taman buru gunung Masigit Kereumbi dan merupakan area konservasi dari kementrian kehutanan, jadi untuk itu perjalanan kami cukup sampai disini, kareana seterusnya merupakan wilayah koservasi. Kami bergerak mencari lahan yang nyaman untuk dijadikan tempat berkemah, dan dua orang lainnya mencari kayu bakar, walaupun hujan dan kayu bakar pasti akan basah, kayu bakar tetap kami kumpulkan karena api merupakan sumber yang bisa kami pakai untuk menghangatkan badan. Tenda sudah berdiri sebagian dari kami berusaha menyalakan api, dan sebagian lain melaksanakan solat magrib. Pada saat seperti ini teknik bernapas dan mengontrol diri sangat diperlukan karena pada kondisi yang basah akibah hujan-hujanan aktivitas kami sekarang sudah tidak seperti pada saat kami berjalan ke sini yang selalu bergerak dan membuat tubuh kami tetap hangat, aktivitas kami sekarang lebih banyak diam, ada beberapa cara untuk mengatasi kondisi saat ini, yaitu dengan mengganti pakaian kami dengan yang kering, membuat api, menggosok-gosokan telapak tangan, dan yang aling penting mengatur pernapasan dan tidak menolak rasa dingin itu datang supaya tubuh cepat menyesuaikan dengan kondisi lingkunngan, dan yang paling sangat ppeting adalah jangan sampai perut dalam keadaan kosong atau lapar, karena jika tubuh kita kosong maka tubuh kita tidak akan mempunyai kalori yang cukup untuk diproses menjadi energi dan membuat tubuh menjadi hangat. Cara yang kami pakai untuk mengatasi kondisi ini adalah dengan mengganti baju bsah kami dengan baju ganti yang kering, setelah itu kami makan bersama dengan makanan yang kami bekal, setelah itu kami berusaha membuat api.

Membuat api dalam kondisi kayu yang basah sangat susah, karena itu kami harus membuat pemicu terlebih dahulu, cara  yang kami pakai untuk membuat pemicu api adalah dengan membakar plastik dan sisa-sisa pembungkus makanan yang tadi kami makan. Plastik ketika diabakar akan meleleh dan lelehan itu akan akan menghasilkan api yang cukup lama meskipun kecil, karena itu kayu bakar yang kami kumpulkan kami potong-potong dan kami bilah menjadi bagia-bagian kecil yang mempunyai luasan tidak melebihi api yang kami buat, cara ini bertujuan untuk mempercepat proses menguapnya air dari kayu tersebut, kayu-kayu kecil kami masukan sedikit demi sedikit menunggu sampai beberapa kayu yang kami masukan pertama mengering dan terbakar, ketika kayu-kayu pertama sedah terbakar maka api akan membesar dan beberapa kayu-kayu sang ukurannya tidak melebihi dari besarnya api kami masukan satu persatu. Kayu tidak boleh di masukan sekaligus hal ini untuk menjaga udara di sekitaran api tidak berkurang, untuk itu teknik dalam menyusun kayu atau menempatkan kayu ke dalam api sangat diperlukan, untungknya kami terlah mengerti dan mampu mengaplikasikannya saat ini. Api semakin membersar dan ketika api telah besar kami bisa memasukan kayu-kayu yang besar, kalau kayu-kayu yang besar sudah terbakar nantinya akan menghasilkan bara api yang menjaga bagian bawah api ungun tetap panas dan bisa membuat api tetap menyala. Akhirnya kami berhasil membuat api.

Malam selepas isya di depan api ungun, kami semua berada di depan tenda dengan beralas matras hitam kami enggan kemana-mana karena area ini sangat basah akibat hujan tadi, untungnya ranting pohon yang kami kumpulkan cukup banyak jadi cukup bisa membuat api tetap menyala sampai kami merasa mengantuk, dan bagusnya satu persatu dari kami merasa nagntuk dan satu persatu mulai masuk ke tenda, aku adalah orang yang pertama masuk ke tenda untuk istirahat, ditemani lagu Ebiet G Ade dan lagu Iwan Fals suara-suara temanku dan suara musik semakin samar dan tidak jelas, sepi dan terasa sangat sepi, telapak kadang terasa dingin, dan terasa ada orang yang bergerak didekatku, terasa begitu lama dalam keheningan, ada terasa orang bangun, kelura dari tenda, samar-samar suara temanku terdengar, aku terbangun, dan ternyata hari sudah pagi, aku ambil air wudu meski sangat dingin dan kami melaksanakan solat subuh.

Pagi-pagi. Sedikit demi sedikit dan perlahan hari semakin terang ujung-ujung daun pohon sudah terlihat, kabut dan uap air naik keatas menghasilkan awan, lampu-lampu di kampung terdekat satu persatu dimatikan, aku bisa melihatnya. Pagi yang sunyi, udara di pegunungan begitu segar, aku bisa merasakannya, tubuhku terasa begitu nyaman ketika menghisapnya, tidak ada bau yang membuat sesak. Dari sini terlihat gunung Geuling dengan lekukannya, dan Gunung Malayang, pemandanagan yang begitu bagus, disini hanya kami ber-empat, sangat tenang dan tidak berisik. Bayang-bayang semakin sirna, matahari sudah terbit, burung-burung terdengar bersuara entah burung apa itu tapi aku suka dengan kondisi seperti ini terkadang terlihat petani yang pergi ke ladangnya. Aku bersiap membuat minuman hangat, dan memasak untuk makan pagi. Kami tidak lama berada disini dan setelah makan dan beres-beres kami langsung pulang karena matahari sudah tersa panasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons