Aku bersama dengan
kaka kelasku kumpul di depan sekolah sore pukul 4, kami ber-empat berencana
untuk berkemah di Kareumbi. Tidak lama untuk saling menunggu semuanya sudah
berkumpul, semua sudah siap dan kami berangkat dengan berjalan kaki. Tidak lama setelah kami memulai perjalanan
hujan pun turun dengan deras, tapi kami tetap melanjutkan perjalanan.
Kami berjalan
melawati kampung, diantara rumah-rumah tembok, dan melewati jalan berkerikil
batu akibat jalan yang sudah rusak, kampung pertama telah kami lewati, kami
harus melewati jalan setapak di pesawahan warga. Langkah berjalan kami
diperpanjang dengan ritme yang tidak pelan untuk mempercepat perjalanan. Hajan
masih deras dan hal yang kami takutkan ketika berjalan di area pesawahan yang
landai dan datar adalah petir. Setelah cukup lama kami berjalan melewati
pesawahan kami kahirnya berjalan memasuki kampung lagi, kami berjalan di
pinggiran jalan umum, hujan masih deras dan jalan yang kami tempuh akhirnya
bertemu dengan jalan raya, hujan sudah mulai reda tinggal gerimis yang turun
dengan konstan yang membuat badan kami tetap basah, kami berjalan di pinggir
jalan raya, perjalanan kami tidak kalah cepat dengan air yang mengalir di
selokan sisa dari hujan deras yang tadi turun. Dari jalan ini aku bisa melihat
gunung yang akan kami datangi untuk berkemah, terlihat pohonya cukup lebat, aku
menghela napas. Aku harus mengatur pernapasan dan mengontrol tubuh supaya tidak
menggigil, menjaga kondisi tubuh supaya tetap hangat ketika melakukan
perjalanan saat sedang hujan. Stelah berjalan cukup lama di pinggiran jalan
raya dan melewati beberapa pertigaan akhirnya kami masuk melewati kampung lagi,
dan kami berjalan melewati rumah-rumah tembok warga dekat gunung Kareumbi, tak
lama setelah itu kami melewati perkebunan dan jalan setapak yang
berkelok-kelok, hujan semakin reda dan hari pun semakin gelap, perjalanan kami
semakin cepat, untungnya akibat dari hujan deras tadi jalanan tidak terlalu
licin, karena lumpur-lumpur yang membuat jalan menjadi licin sudah terbawa oleh
aliran air hujan, jalan yang kami tempuh semakin melebar, tinggal beberapa
menit lagi kami akan sampai di tempat tujuan kami.
Setalah berjalan
kurang-lebih 2 jam, akmi akhirnya sampai pada tempat tujuan kami, Ciceri,
Gunung Kareumbi. Wilayah ini merumpakan kawasan dari wilayah taman buru gunung
Masigit Kereumbi dan merupakan area konservasi dari kementrian kehutanan, jadi
untuk itu perjalanan kami cukup sampai disini, kareana seterusnya merupakan
wilayah koservasi. Kami bergerak mencari lahan yang nyaman untuk dijadikan
tempat berkemah, dan dua orang lainnya mencari kayu bakar, walaupun hujan dan
kayu bakar pasti akan basah, kayu bakar tetap kami kumpulkan karena api
merupakan sumber yang bisa kami pakai untuk menghangatkan badan. Tenda sudah
berdiri sebagian dari kami berusaha menyalakan api, dan sebagian lain
melaksanakan solat magrib. Pada saat seperti ini teknik bernapas dan mengontrol
diri sangat diperlukan karena pada kondisi yang basah akibah hujan-hujanan
aktivitas kami sekarang sudah tidak seperti pada saat kami berjalan ke sini
yang selalu bergerak dan membuat tubuh kami tetap hangat, aktivitas kami
sekarang lebih banyak diam, ada beberapa cara untuk mengatasi kondisi saat ini,
yaitu dengan mengganti pakaian kami dengan yang kering, membuat api,
menggosok-gosokan telapak tangan, dan yang aling penting mengatur pernapasan
dan tidak menolak rasa dingin itu datang supaya tubuh cepat menyesuaikan dengan
kondisi lingkunngan, dan yang paling sangat ppeting adalah jangan sampai perut
dalam keadaan kosong atau lapar, karena jika tubuh kita kosong maka tubuh kita
tidak akan mempunyai kalori yang cukup untuk diproses menjadi energi dan
membuat tubuh menjadi hangat. Cara yang kami pakai untuk mengatasi kondisi ini
adalah dengan mengganti baju bsah kami dengan baju ganti yang kering, setelah
itu kami makan bersama dengan makanan yang kami bekal, setelah itu kami
berusaha membuat api.
Membuat api dalam
kondisi kayu yang basah sangat susah, karena itu kami harus membuat pemicu
terlebih dahulu, cara yang kami pakai
untuk membuat pemicu api adalah dengan membakar plastik dan sisa-sisa
pembungkus makanan yang tadi kami makan. Plastik ketika diabakar akan meleleh
dan lelehan itu akan akan menghasilkan api yang cukup lama meskipun kecil,
karena itu kayu bakar yang kami kumpulkan kami potong-potong dan kami bilah
menjadi bagia-bagian kecil yang mempunyai luasan tidak melebihi api yang kami
buat, cara ini bertujuan untuk mempercepat proses menguapnya air dari kayu
tersebut, kayu-kayu kecil kami masukan sedikit demi sedikit menunggu sampai
beberapa kayu yang kami masukan pertama mengering dan terbakar, ketika
kayu-kayu pertama sedah terbakar maka api akan membesar dan beberapa kayu-kayu
sang ukurannya tidak melebihi dari besarnya api kami masukan satu persatu. Kayu
tidak boleh di masukan sekaligus hal ini untuk menjaga udara di sekitaran api
tidak berkurang, untuk itu teknik dalam menyusun kayu atau menempatkan kayu ke
dalam api sangat diperlukan, untungknya kami terlah mengerti dan mampu
mengaplikasikannya saat ini. Api semakin membersar dan ketika api telah besar
kami bisa memasukan kayu-kayu yang besar, kalau kayu-kayu yang besar sudah
terbakar nantinya akan menghasilkan bara api yang menjaga bagian bawah api
ungun tetap panas dan bisa membuat api tetap menyala. Akhirnya kami berhasil
membuat api.
Malam selepas isya
di depan api ungun, kami semua berada di depan tenda dengan beralas matras
hitam kami enggan kemana-mana karena area ini sangat basah akibat hujan tadi,
untungnya ranting pohon yang kami kumpulkan cukup banyak jadi cukup bisa
membuat api tetap menyala sampai kami merasa mengantuk, dan bagusnya satu
persatu dari kami merasa nagntuk dan satu persatu mulai masuk ke tenda, aku
adalah orang yang pertama masuk ke tenda untuk istirahat, ditemani lagu Ebiet G
Ade dan lagu Iwan Fals suara-suara temanku dan suara musik semakin samar dan
tidak jelas, sepi dan terasa sangat sepi, telapak kadang terasa dingin, dan
terasa ada orang yang bergerak didekatku, terasa begitu lama dalam keheningan,
ada terasa orang bangun, kelura dari tenda, samar-samar suara temanku
terdengar, aku terbangun, dan ternyata hari sudah pagi, aku ambil air wudu
meski sangat dingin dan kami melaksanakan solat subuh.
Pagi-pagi. Sedikit
demi sedikit dan perlahan hari semakin terang ujung-ujung daun pohon sudah
terlihat, kabut dan uap air naik keatas menghasilkan awan, lampu-lampu di
kampung terdekat satu persatu dimatikan, aku bisa melihatnya. Pagi yang sunyi,
udara di pegunungan begitu segar, aku bisa merasakannya, tubuhku terasa begitu
nyaman ketika menghisapnya, tidak ada bau yang membuat sesak. Dari sini
terlihat gunung Geuling dengan lekukannya, dan Gunung Malayang, pemandanagan
yang begitu bagus, disini hanya kami ber-empat, sangat tenang dan tidak
berisik. Bayang-bayang semakin sirna, matahari sudah terbit, burung-burung
terdengar bersuara entah burung apa itu tapi aku suka dengan kondisi seperti
ini terkadang terlihat petani yang pergi ke ladangnya. Aku bersiap membuat
minuman hangat, dan memasak untuk makan pagi. Kami tidak lama berada disini dan
setelah makan dan beres-beres kami langsung pulang karena matahari sudah tersa
panasnya.